A.
Kebudayaan Batak
Orang
Batak dewasa ini untuk bagian terbesar mendiami wilayah Sumatra Utara. Mulai
dari perbatasan daerah istimewa Aceh di utara sampai perbatasan dengan Riau dan
Sumatra barat di sebelah Selatan. Selain daripada itu, orang Batak juga
mendiami tanah datar yang berada diantara pegunungan dengan pantai timur
Sumatra utara dan pantai barat Sumatra utara. Dengan demikian maka orang batak
ini mendiami dataran Tinggi karo,Langkat hulu, Deli hulu, Serdang hulu,
Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, dan Mandailing dan
kabupaten tapanuli Tengah.
Pada
umumnya daerah ini terkenal iklim musim tanah di datar di antara daerah
pegunungan dan pantai merupakan daerah subur untuk pertanian, sedangkan daerah
pegunungan terdiri dari padang rumput. Daerah pegunungan itu, masih dapat
memberikan hidup kepada penghuninya berkat penggunaan teknik irigasi dan
penggunaan pupuk. Teknik pengolahanya dengan sistim tegalan dan sawah. Daerah
sawah sehabis panen padi lalu di tanam palawija yang merupakan barang ekspor
utama dari daerah itu. Ditempat yang penanaman padinya kurang menguntungkan
maka di tanam seperti bawang kacang, buah-buahan dan nilam disamping hasil
hutan lainya.
Suatu
hal yang menguntungkan bagi orang batak ialah, sejak jaman kemerdekaan jaringan
jalan-jalan raya telah mencapai sampai keplosok-plosok. Dengan demikian
prasarana yang menghubungkan dan memperkenalkan orang batak dengan dunia luar
telah tersedia.
Suku
bangsa batak lebih khusus terdiri dari Sub suku-suku bangsa: (1) Karo yang
mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo langkat hulu,
deli hulu, serdang hulu dan sebagian dari dairi (menurut sensus 1930 mereka
diperkirakan terdiri dari 120.000). (2) Simalungun yang mendiami daerah induk
simalungun (50.000 orang menurut sensus 1930;) (3) Pakpak yang mendiami daerah
indukdairi (22.000 menurut sensus 1930); (4) Toba yang mendiami suatu daerah
induk yang meliputi daerah tepi danau toba, pulau samosir, dataran tinggi toba,
daerah asahan, silindung, daerah antara barus dan sibulga dan daerah pegunungan
pahai dan habin saran(jumlah mereka terbesar diantara sub suku-suku bangsa
batak,ialah 40.000 menurut sensus 1930). (5) Angkola yang mendiami daerah induk
angkola dan sipirok sebagaian dari sibolga dan batang toru dan bagian utara
dari padang lawas ; (6) Mandailing yang mendiami daerah induk mandailing, ulu,
pakatan dan bagian selatan dari padang lawas (bersama-sama dengan orang angkola
mereka diperkiran berjumlah 160.000 orang menurut sensus 1930). Menurut
cerita-cerita suci (tarombo) orang batak , terutama dari orang batak toba.semua
sub suku-suku bangsa Batak itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu Si Raja
Batak.
B.
Unsur-unsur Kebudayaan Batak
1.
Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan
sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah: (1) Logat Karo yang
dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat
Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang dipakai oleh orang
Toba, Angkola dan Mandailing. Di antara keempat logat tersebut, dua yang paling
jauh jaraknya satu dengan lain adalah logat Karo dan Toba.
2.
Sistem
Pengetahuan
Sistem
pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang
diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan
dua jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk
keperluan bercocok tanam.
Selain
pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai
konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar
mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan
hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan
sebagainya. Jenis tumbuhan bambu
misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air,
ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk
membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan
tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang
dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari
kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu
kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak
ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan lak-lak tersebut
hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan menguasai kegunaan
bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif dan memanfaatkan untuk acara
tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu hanya untuk raja-raja,
tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan
pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.
3.
Organisasi
Sosial
Sistem
kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan
ayah.Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak,
mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam struktur itu sehingga
mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan kekerabatan di antara
sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara satu marga dengan marga
lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa kelompok kecil yang
diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak
menyebut anggota marga-nya dengan sebutan dongan-sabutuha (mereka yang
berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak
laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang
dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal ini yang menjadi tulang punggung
masyarakat Batak, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan
kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki.
Laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan
menciptakan hubungan besan (affinal relationship), karena ia harus kawin
dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.
4.
Sistem
Peralatan Hidup dan Teknologi
Masyarakat
Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan
untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi)
atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso
surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur
(sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak
juga memiliki rumah adat Batak. Rumah Batak biasanya
didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap ijuk.
Letaknya memanjang kira kira 10 – 20 meter dari timur ke barat. Pintunya ada di
sisi barat dan timur pada rumah Karo dan Simanuwun, atau pada salah satu ujung
lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong). Pada bagian puncaknya yang
menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang tanduk kerbau atau arca
muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk setengah lingkaran ( kecuali
rumah empat ayo pada Karo). Pada
bagian depan (barat dan timur) rumah Karo yang disebut ayo ada
ornamentasi geometris dengan warna warna merah , putih , kuning dan hitam. Pada
sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak menggunakan lukisan (arca).
Kepala orang atau singa (Kalamakara). Dindingnya diikat dengan tali ijuk yang
disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai gambar cecak ( Reret ).
Satu
bagian yang merupakan keistimewaan dari rumah Karo dan yang tidak ada pada
rumah Batak yang lainadalah semacam teras dari bamboo yang disusun di serambi
muka. Teras ini disebut Ture yang pada malam harinya digunakan sebagai tempat
pertemuan gadis dan pemuda yang menemuinya. Satu rumah Batak itu biasanya
dihuni oleh beberapa keluarga – batih yang satu dengan lain, terikat dengan hubungan
kekerabatan secara patrilinear.
5.
Sistem Mata
Pencaharian Hidup
Orang Batak bercocok tanam padi di
sawah dengan irigasi, tetapi masih banyak juga, terutama diantara orang Karo,
Simalungun dan Pakpak yang masih bercocok tanam di ladang. Yang dibuka di hutan
dengan cara di bakar dan menebang pohon.
Pada
sistem bercocok tanam di ladang , Huta atau Kutalah yang memegang hak Ulaya
tanah. Sedangkan hanya warga Huta atau Kuta yang berhak untuk memakai wilayah
itu. Mereka menggarap tanah itu seperti menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak
dapat menjualnya tanpa persetujuan dari Huta yang diputuskan dengan musyawarah.
Tanah yang dimiliki individu juga ada. Pada orang batak toba misalnya ada tanah
panjaenan, tanah pauseang dan tanah parbagian.
Didalam masyarakat orang Batak Karo
dan Simalungun ada perbedaan antara golongan yang merupakan keturunan dari para
pendiri Huta, dengan golongan yang merupakan keturunan dari penduduk Kuta yang
datang kemudian. Golongan para pendiri Kuta, ialah para Marga Taneh. Memiliki
tanah yang paling luas sedangkan golongan lainnya biasanya hanya memiliki tanah
yang hanya sekedar hidup. Di daerah Dairi disamping menanam padi , luas juga
tanah yang di Tanami kopi. Dalam bercocok tanam baik di ladang maupun di sawah
, orang perempuan batak mengambil peranan yang amat penting, terutama dalam
tahap-tahap menanam.
Orang
Batak juga mengenal system gotong royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam
bahasa Karo activated itu disebut Raron , sedangkan dalam bahasa Toba hal itu
disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabatat dekat ,
bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
Raron itu merupakan suatu pranata yang ke anggotaannya sangat suka rela dan
lamanya berdiri tergantung kepada perstujuan pesertanya walaupun minimal selama
jumlah pesertanya satu hari.
Alat-alat
yang digunakan dalam bercocok tanam adalah, cangkul, tongkat tugal. Bajak
biasanya ditarik oleh kerbau , atau oleh sapi. Orang Batak umumnya memotong
padi dengan sabit ( Sabi-sabi ) , atau dengan ani-ani. Selain itu peternakan
juga suatu penghasilan yang penting pada orang Batak umumnya. Mereka memelihara
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, bebek. Kerbau banyak di gunakan sebagai
binatang penghela dan untuk upacara adat, sedangkan babi dimakan dan untuk
pemberian adat. Sapi, kambing, ayam di jual untuk melayani kota-kota terutama
Medan.
Di
daerah tepi danau Toba dan di pulau Samosir menangkap ikan merupaka suatu mata
pencaharian yang penting. Penangkapan ikan dilakukan dengan amat intensif dalam
musim tertentu, misalnya dalam bulan Juli sampai Agustus. Pekerjaan dilakukan
eksklusif laki-laki dalam prahu lesung ( Solu ) dengan jala , pancing dan perangkap-perangkap
ikan. Ikan di jual di pasar-pasar untuk dibawa ke kota-kota seperti ke Baligo.
6.
Sistem
Religi
Batak telah
dipengaruhi oleh beberapa agama, yaitu agama Islam dan Kristen Protestan yang
masuk sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam masuk di Minangkabau sejak tahun
1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar dari orang Batak selatan
(Mandailing dan Angkola). Sedangkan agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan
Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman sejak tahun 1863 dan ke
daerah Karo oleh organisasi Belanda pada masa yang sama. Di samping itu juga
ada agama-agama lain dan agama pribumi.
Walaupun sebagian besar orang Batak
telah menganut agama Kristen atau Islam, namun banyak konsep-konsep agama
aslinya masih hidup terutama di pedesaan. Hal ini dapat diketahui lewat
buku-buku kuno (pustaha) yang berisi silsilah Batak dan dunia makhluk halus.
Orang Batak punya konsepsi bahwa
alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na
Bolon. Dia berada di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan
tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai
Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha pencipta.
Sebagai penguasa dunia
tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon
na Bolon
(Toba) ,atau Tuan
Padukah ni Aji (Karo). Sebagai penguasai dunia makhluk halus ia bernama Pane
na Bolon. Selain daripada pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur
kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan,
kehamilan,
sedangkan Pane na Bolon
mengatur setiap penjuru-mata angin.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep,yaitu Tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan
sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan
yang dimiliki seseorang.Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak semua
orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda.Sahala
dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari
orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih
kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan
menentukan peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan
seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu
pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian pula sahala
atau sumangat (Karo). Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada
bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan
jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala ,yang
dapat berkurang atau bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan.
Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu
mati. Keluarnya tondi
dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang menawannya.
Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia,
hanya secara kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada
siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan
kebutuhannya,begu di puja dengan sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu(begu
dari nenek moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal adanya beberapa
macam begu, ialah:
1.
Batara guru atau begu parkakun jabu
2.
Bicara guru
3.
Begu mate sada wari
4.
Mate kayat-kayaten
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba
juga percaya kepada kekuatan sakti dari jimat,
tongkat wasiat,
atau tunggal panaluandan
kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.Semua kekuatan itu menurut
kitab-kitab ilmu gaib orang batk toba(pustaha),berasal dari si Raja
Batak.
7.
Kesenian
Seni pada
masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari, seni
bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan. Terdapat beberapa seni
masyarakat Batak, antara lain:
a.
Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut
kelahiran anak mereka dan sekaligus mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia
sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan bentukan dari kata dasar
gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau ber-. Margondang menyatakan
kata kerja yakni bergendang atau memainkan alat musik gendang. Margondang merupakan
suatu kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu.
Tujuan filosofinya adalah untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena
merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
b.
Seni Tari (Tor-tor)
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang). Tortor
pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan
semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila upacara
penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja
adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau
memberi nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring
(upacara menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon);
upacara tahunan, dan pesta edangedang (pesta sukaria).
c.
Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan
patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada sejak
lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan
–tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan.
Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat
sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian tumpukan batu itu
berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk patung. Sesuai dengan
perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi
rupa wajah manusia atau binatang. Di Tomok, Pulau Samosir, terdapat jalan
setapak kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Bapak Charles Sidabutar,
salah satu keturunan raja yang kini menjaga makam, menjelaskan bahwa sesuai
kepercayaan setempat pada saat itu, jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah,
melainkan harus di dalam batu.
d.
Kerajinan Tangan (Ulos)
Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya
sebatas hasil kerajinan seni budaya saja, kain Ulos pun sarat dengan arti dan
makna. Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun Ulos adalah
perlambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang komunikasi dalam
masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun Ulos selalu digunakan dalam
setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam adat Suku Batak.
Misalnya, untuk perkawinan, kelahiran anak, punya rumah baru, sampai acara
kematian.
Tiap-tiap kain
tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna tersendiri,
baik bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya. Misalnya saja Ulos
Ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi derajatnya. Sebab,
pembuatannya sangatlah sulit. Kain tenun ulos jenis ini terdiri dari tiga
bagian, yaitu 2 sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian tengah yang ditenun
sendiri dengan motif yang rumit. Motif Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti
benar-benar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai
ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam
kehidupan.
Ulos Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1 tingkat di
bawah ulos ragidup. Pembuatannya tidak serumit Ulos Ragidup. Namun, Ulos
Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang berhubungan dengan pekerjaan. Ulos
ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian sebagai pembungkus atau
penutup jenazah yang akan dikebumikan. Ulos jenis ini mengartikan bahwa
pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.
Selain kedua jenis ulos tersebut, ada satu jenis
ulos yang disebut Ulos Sibolang.
Ulos ini digunakan sebagai tanda jasa penghormatan. Biasanya dipakai oleh
orangtua pengantin atau diberikan oleh orangtua pengantin perempuan buat
menantunya. Oleh karena itu, Ulos Sibolang dijadikan sebagai lambang
penyambutan anggota keluarga baru. Ulos Sibolang juga diberikan kepada seorang
wanita yang ditinggal mati suaminya. Ulos ini diberikan sebagai tanda
menghormati jasanya yang telah menjadi istri yang baik, sekaligus sebagai tanda
bahwa ia telah menjadi janda.
Koentjaraningrat. 1987.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Melalatoa, M. Junus.1997. Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.